Islam Multikulturalisme Sebagai Wacana dan Gerakan

 

Islam Multikulturalisme Sebagai Wacana dan Gerakan


Dalam historis, Islam tampil menjadi agama dan peradaban yang senantiasa bersentuhan dengan agama dan peradaban lain. Di sisi lain, Islam berhadapan dengan budaya dan peradaban masyarakat Arab Jahiliyah yang menganut kepercayaan paganisme. Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa risalah dan ajaran Allah berusaha meluruskan dan membenahi akidah masyarakat Arab pada waktu itu dengan tetap menjalin hubungan baik antar mereka. Walaupun dalam perjalanan dakwahnya sering terjadi benturan dengan masyarakat Jahiliyah. Namun secara substansial, benturan dan peperangan itu hanya ditempuh sebagai alternatif terakhir setelah segala jalan damai yang ditempuh mengalami kegagalan.[1]

Dalam pandangan Syed Z. Abidin,[2] ada dua cara melihat minoritas Muslim di negara mayoritas non-Muslim atau sekuler, yaitu aspek ekspresi kultural dan aspek keyakinan atau idea. Aspek kultural misalnya, berkaitan denga tradisi berpakaian, beribadah, bahasa khas yang dipakai dan lain sebagainya. Aspek keyakinan atau aspek idea yaitu tentang keyakinan akidah yang berbeda dengan mayoritas, dan juga nilai-nilai idea lainnya seperti kehidupan setelah mati dan cita-cita hidup. Namun dalam keduanya, menurut Abidin, perlu mendorong minoritas Muslim untuk memperkuat dan menunjukkan identitas dan kultural khas mereka ketika hidup di tengah mayoritas. Dengan demikian, minoritas Muslim juga perlu menyadari akan perbedaan dan saling menghargai diantara mereka. Sehingga ekspresi Kultural dan Idealitas atau identitas sebagai Muslim yang baik tidak tidak perlu dikontraskan dengan sistem komunitas atau negara di mana dia hidup.

Munculnya gerakan-gerakan minoritas yang menuntut pemisahan diri atau otonomi dari wilayah kekuasaannya/negara, termasuk di Filipina selatan maupun Thailand Selatan, selalu dikaitkan dengan gerakan terorisme internasional yang menggunakan Islam sebagai gerakan. Meskipun banyak laporan yang kemudian membuktikan bahwa gerakan itu hanya bersifat lokal dan tidak terkait langsung dengan terorisme internasional,[3] namun yang paling menonjol adalah ketika gerakan ini disamaratakan begitu saja dengan gejala Islamis dalam politik. Banyak persepsi yang salah tentang hal itu.

Adanya keterkaitan antara kultural dan agama menjadi ciri khas masyarakat Asia Tenggara. Menurut Lee Hock Guan,[4] misalnya, tradisi Ikatan etnisitas dan komunalitas di Asia Tenggara jauh lebih kuat ketimbang di Eropa dan di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, menurut Guan civil society lebih terbangun berbasis pada kelas menengah seperti perdagangan, dan intelektual. Sementara di Asia Tenggara, lanjut Guan, civil society terbangun lebih berbasis pada ikatan etnisitas, agama dan kelompok sosial kultural. Karena itu, tidak heran jika rumusan aspirasi minoritas di Asia Tenggara hampir tidak dipisahkan dengan ikatan etnitas, kultural dan Agama. Banyaknya etnis dan juga bermacam kultur yang ada di Asia Tenggara bukan sekedar kelompok bermasyarakat saja, melainkan warisan budaya yang menjadi ciri khas kehormatan dari mereka yang wajib dijaga.

 



[1] Sultan Syahril, Integrasi Islam dan Multikulturalisme, Jurnal analisis, Volume XIII. Nomor 2. Desember 2013, hal. 299. Diakses pada tanggal 22 November 2016 pukul. 11.00

[2] Syed Z. Abidin, The Study of Muslim Minority Problems: A Conceptual Approach,” dalam salem Azzam et. al., Muslim Communities in Non-Muslim States, 17-30.

[3] Joseph Chinyong Liow, “Muslim Resistance in Southern Thailand and Southern Philippines: Religion, Ideology and Politics,” Policy Study 24, 2006.  45-52

[4] Lee Hock Guan, “ Intoduction: Civil Society in Southeast Asia, “ dalam Guan Hock Lee, ed. Civil Coiety in Southeast Asia, Singapura: ISEAS, 2004,  1-25.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Multikultural Islam

GONG SI BOLONG IKON KOTA DEPOK YANG KINI TERLUPAKAN

tentang saya