Hakekat Islam dan Multikulturalisme
Hakekat Islam dan Multikulturalisme
Pada dasarnya, Islam tidak bertentangan dengan multikulturalisme. Bahkan agama Islam sejalan dengan multikulturalisme tersebut. Ajaran-ajaran Islam banyak yang menjelaskan tentang pentingnya menghargai perbedaan dan saling menghormati terhadap perbedaan tersebut. Kata Islam berasal dari as-salam yang berarti damai.[1] Jadi dalam Islam selalu dianjurkan untuk bersikap sabar dalam menghadapi perselisihan, dan juga diutamakan saling menghargai antara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut H.A.R. Tilaar Multikulturalisme merupakan “upaya untuk menggali potensi budaya sebagai kapital yang dapat membawa suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko”.[2] Multikulturalisme mencoba membantu pihak-pihak yang saling berbeda untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaan-perbedaan dan kemajemukan yang ada, agar tercipta perdamaian dan dengan demikian kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia.[3]
Untuk itu diperlukan pendidikan multikultural demi mewujudkan tercapainya kesejahteraan hidup antar umat beragama. Pendidikan multikultural adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan multikultural sebagai upaya untuk melatih dan membangun karakter masyarakat agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat.[4]
Multikulturalisme Menurut Al Qur’an. Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al Qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Secara normatif-doktrinal, Al-Qur’an telah mengantisipasi timbulnya sikap dan budaya saling mencemooh dan merendahkan antara kelompok yang satu dengan yang lain. Tindakan mencemooh dan mengejek, serta merendahkan orang, apalagi kelompok lain, merupakan cikal bakal dan sumber konflik sosial yang potensial.[5] Untuk itu Al-Qur’an mengingatkan dengan tegas sebagai berikut dalam surat Al-hujurat ayat 11:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu
sekumpulan merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu
lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.[6]
Dengan ayat di atas, Al-Qur’an
menegaskan konsep kemanusiaaan yang arif. Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia harus berdampingan dalam kehidupan bermasyarakat, dan tidak ada perselisihan. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai penafsiran yang salah dalam berbagai hal, yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang
suatu hakekat kebenaran dalam berbagai bidang. Meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang
kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang
berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan harusnya tidak menjadi
sebab perselisiahan dan permusuhan.[7]
Lebih lanjut, realitas multikulturalisme juga dijelaskan dalam sejumlah hadis Nabi saw., di antaranya
khutbah yang disampaikan oleh Nabi saw. pada hari-hari tasyriq yang artinya sebagai berikut:
“Wahai manusia, camkanlah (oleh kalian): Sesungguhnya Tuhan kalian
satu dan moyang kalian juga satu. Camkanlah (oleh kalian): Tidak ada keutamaan
bagi orang Arab atas non-Arab, begitu juga non-Arab atas Arab, tidak pula orang
kulit merah atas orang hitam maupun orang hitam atas orang berkulit merah
kecuali karena (factor) ketakwaan.
Sudahkah aku sampaikan?!” (HR. Ah}mad).[8]
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap, menyeluruh dan sempurna yang
mengatur tata cara kehidupan seorang muslim baik ketika beribadah maupun ketika
berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan Multikulturalisme adalah sistem
keyakinan dan perilaku yang mengakui dan menghormati kehadiran semua kelompok
yang beragam dalam suatu organisasi atau masyarakat, mengakui sosial-budaya
mereka yang berbeda. Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya
dan kemajemukan. Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan
(sunnatullah) yang tidak akan berubah, dan tidak akan dilawan atau diingkari.
Setiap orang akan menghadapi kemajemukan dimanapun dan dalam hal apapun.[9]
[1] ‘Ala Abu Bakar, Islam yang Paling Toleran Kajian tentang
Konsep Fanatisme & Toleransi dalam Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2006), 12.
[2] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme. Tantangan-tantangan Global
Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta:
Grasindo, 2004), 93-94.
[3] Andre Ata Ujan. dkk, Multukulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan (Jakarta: Indeks, 2009), 15.
[4] Abd. Azis Albone, Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme (Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri, 2009), 202.
[5] Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000), 77.
[6] QS. Al-hujurat ayat 11.
[7] Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), 109.
[8] Ahmad ibn Hanbal asy-Syaibani, Musnad al-Imam
Ahmad ibn Hanbal (Kairo: Mu’assasah Qurtubah, tt.), V/411, hadis no. 23536.
[9] Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah
Reflaksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Jakarta: Al-Ghazali
Center, 2008), 5.
Komentar
Posting Komentar